Selasa, 17 November 2009

14th Note : Unconscious...

Seorang anak wanita usia sekitar 6 bulan berada di sebuah ruang isolasi bangsal anak tempat aku menjalankan stase anak sebagai dokter muda. Anak tersebut punya penyakit keganasan darah dengan berbagai penyulit, saat ini kondisinya rewel. Makan dan minum sulit.

Hari itu hari pertama aku masuk stase anak dan di hari itu pula aku jaga. Berat! Tapi aku berusaha menikmati. Aku jaga di bangsal itu sendirian. Cerita ini tidak dapat kudeskripsikan dengan jelas riwayat dan pemeriksaan fisik yang bisa kunilai sebagaimana cerita-cerita sebelumnya. Semuanya serba pertama pada saat itu. Tapi ini cerita paling berkesan selama aku menjalani masa sebagai dokter muda di stase anak. Ini aku ceritakan dengan bahasa yang sangat awam.

Anak itu menangis rewel terus...sampai-sampai sang ibu pun tampak jelas raut kelelahan dan kebosanannya. Sang ibu ingin bisa istirahat sejenak. Aku pun mencoba mempelajari status pasien tetapi masih sulit bagiku memahami ini, karena hari itu semua serba pertama bagiku. Residen memerintahkan aku mengawasi ketat tanda vital anak tersebut. Alasannya kenapa itu yang kucari. Hingga akhirnya tengah malam tiba...

Aku telah mefollow up vital sign terakhir anak ini 1 jam lalu. Sang ibu keluar dengan nada bingung beliau bertanya,"Dok, tadi anak saya menangis rewel terus, sekarang kok diam ya,apa tidur ya dok?"

Aku masuk ke ruangan dan memeriksa. Ku lihat ada sesuatu yang abnormal. Kuperiksa tanda vital. Ternyata kok lambat. Napasnya pun kulihat bukan napas layaknya seorang yang tidur. Kuperiksa pupil matanya. Lho kok melebar. Langsung aku mengetahui anak ini tidak sadarkan diri bukan tertidur.

Stase sebelum anak adalah stase ilmu penyakit saraf. Dari pupil kita bisa mengetahui status kesadaran seseorang dan tingkat kerusakannya di daerah mana secara anatomi. Hanya modal ini saja yang membuat aku dengan segera menelpon residen yang bertugas jaga saat itu.

Residen awalnya ragu dengan laporanku, tapi ku laporkan apa yang bisa membuat residen itu bisa segera datang ke bangsalku.

Beberapa menit kemudian residen datang dan memeriksa. Ternyata laporanku benar segera kami melakukan resusitasi pada anak tersebut untuk menyelamatkan nyawa sang anak. Berbagai tindakan resusitasi dilakukan beberapa orang residen dihubungi untuk membantu resusitasi dan segera menyiapkan PICU.

Tengah malam yang penuh ketegangan. Hingga akhirnya tangis itu keluar....

Plonk rasanya anak tersebut bisa "kembali" sang ibu pun menangis padahal sebelumnya hanya bisa memandang semu dan membaca doa sebisanya dan membaca surat Yasin yang dibawanya...Namun kondisi masih belum stabil. Perlu pengawasan yang ekstra ketat mengenai tanda vital anak tersebut sebab PICU saat itu penuh dan belum bisa sang anak dipindahkan ke sana segera.

Pandanganku saat itu berubah 180 derajat. Sungguh berharga arti nyawa...dan sungguh menjadi orang tua bukanlah sekedar memadu cinta kasih tetapi lebih dari itu adalah perjuangan demi seorang makhluk yang disebut anak...

Tangis banyak mengartikan sebagai tanda kelemahan. Tangis bagi seorang bayi atau anak adalah tanda komunikasi.Anak bukanlah separuh orang dewasa juga bukan makhluk yang lemah. Tapi juga makhluk yang berjuang dengan bentuk yang sederhana untuk bisa hidup dengan komunikasi yang disebut menangis.

Banyak orang tua yang tak tahan dengan tangis dan rewelan seorang anak sehingga membuatnya menjadi cuek. Tetapi malam itu aku mempelajari tangis adalah sebuah syukur. Syukur menghirup dunia yang penuh perjuangan walau kadang tak indah. Bayi yang terlahir ke dunia diawali dengan tangis dan tangis bahagia juga dari kedua orang tua.

Banyak yang bisa dipelajari dari tangis seorang bayi. Dan bila bisa memahaminya sungguh indah rasanya bila hidup ini diisi berjuang untuk seorang makhluk bernama anak...